Terhitung mulai tahun 2021 sampai saat ini sejak menjalani perkuliahan di kampus, saya tidak pernah menyadari adanya kejanggalan ataupun masalah mengenai sistem pendidikan yang diterapkan di UIN Alauddin Makassar, apalagi masalah yang membahas tentang UKT/BKT. Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 55 tahun 2013 Tentang Biaya Kuliah Tunggal (BKT) dan Uang Kuliah Tunggal (UKT) pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Pasal 1 (3) menyatakan bahwa Uang Kuliah Tunggal (UKT) merupakan sebagian biaya kuliah tunggal yang ditanggung setiap mahasiswa berdasarkan kemampuan ekonominya, dan pasal 1 (1) menyatakan bahwa Biaya Kuliah Tunggal (BKT) merupakan keseluruhan biaya operasional per mahasiswa per semester pada program studi di perguruan tinggi negeri.
Selain itu, dijelaskan pula dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2020 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi Pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kemudian, dipertegas dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 7 Tahun 2018 pada BAB I pasal 1 (2) & (3).
Berdasarkan aturan tersebut, kita bisa menarik kesimpulan bahwa penerapan UKT/BKT sangatlah bagus, karena dapat meringankan biaya kuliah mahasiswa (i). Namun, yang menjadi pertanyaan apakah dalam penerapannya di kampus UIN AM sudah sesuai dengan konsep ideal UKT/BKT hadir?
Pada bulan Maret tahun 2022, pada waktu itu saya mengikuti forum diskusi yang membahas terkait masalah dalam dunia kampus. Semakin lama saya mengikuti forum diskusi tersebut, ternyata saya baru mengetahui banyak isu yang telah hadir dan belum terselesaikan sampai saat ini di kampus UIN AM, salah-satunya tentang penerapan UKT/BKT di UIN AM yang tidak optimal. Celakanya saya baru mengetahui hal tersebut ketika usia saya sudah menginjak dua tahun kuliah di UIN AM. Banyak ketimpangan UKT yang ditemukan dalam penerapannya. Sederhananya, untuk menentukan besaran UKT yang harus dibayarkan oleh mahasiswa dapat dihitung menggunakan rumus:
UKT = BKT-BOPTN
Artinya, UKT mahasiswa ditentukan berdasarkan biaya keseluruhan mahasiswa dikurangi dengan subsidi dari pemerintah berupa Biaya Operasioanl Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN). Dari penjelasan tersebut dapat kita ketahui bahwa ternyatata biaya kuliah mahasiswa tidak dibebankan secara penuh kepada mahasiswa. Pemerintah ikut bertanggungjawab dalam biaya kuliah mahasiswa, terlebih lagi UIN AM masih berstatus BLU (Badan Layanan Umum), dimana pemerintah masih memiliki tanggungjawab untuk memberikan subsidi.
Selama ini yang saya ketahui bantuan dari pemerinatah hanya berupa beasiswa saja, nyatanya UKT BKT juga termasuk kedalam salah satu bentuk subsidi pemerintah. Dimana dalam pengalokasiannya diberikan kepada perguruan tinggi negeri, bukan untuk perguruan tinggi swasta.
Seperti yang terdapat dalam PMA No. 7 tahun 2018 BAB 1 pasal 1 (4) yakni, Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri yang selanjutnya disingkat BOPTN adalah bantuan biaya dari pemerintah yang diberikan kepada perguruan tinggi keagamaan negeri untuk membiayai kekurangan biaya operasional sebagai akibat adanya batasan biaya pendidikan di perguruan tinggi keagamaan negeri.
Tetapi mengapa kemudian yang kami alami sekarang adalah sebaliknya. Walaupun ada subsidi dari pemerintah dalam penentuan UKT/BKT, nominal kelompok UKT untuk setiap tingkatannya terus mengalami peningkatan setiap tahunnya, tanpa adanya transparansi BKT. Akibatnya, kita sulit menyakini bahwa yang dibayarkan setiap tahunya oleh mahasiswa (i) adalah biaya kuliah yang telah disubsidi pemerintah.
Sehingga untuk saat ini kami masih mempertanyakan, adakah peran subsidi pemerintah dalam mengurangi biaya kuliah?
Karena, idealnya UKT hadir untuk meringankan biaya kuliah mahasiswa (i). Dengan adanya sistem UKT/BKT ini, maka biaya kuliah akan semakin murah dan porsi pemerintah akan lebih besar dalam pembiayaan pendidikan tinggi. Namun, lagi-lagi yang terjadi dilapangan masih banyak mahasiswa yang sulit membayar UKT, masih banyak mahasiswa yang harus putus kuliah dikarenakan mahalnya biaya kuliah yang dibebankan kepadanya. Padahal UKT dalam pengelompokannya dirancang oleh masing-masing PTN untuk kemudian ditetapkan oleh menteri, dengan tujuan untuk menyesuaikan biaya UKT berdasarkan kemampuan ekonomi mahasiswa, orangtua mahasiswa atau pihak lain yang membiayai.
Tidak hanya itu, masalah lain yang saya dapatkan dalam proses penentuan UKT mahasiswa berdasarkan pengamatan saya dua tahun terakhir ini, hanya dilihat berdasarkan dengan slip gaji orangtua, struk tagihan listrik, foto rumah, jumlah tanggungan keluarga dan sebagainya. Yang jadi persoalan adalah proses wawancara ditiadakan dalam penentuan UKT mahasiswa angkatan 2020 dan 2021. Dalam melakukan proses wawancara saja masih banyak penenetapan UKT mahasiswa yang tidak sesuai dengan perekonomiannya, apalagi jika proses wawancara sama sekali tidak diterapkan. Karenannya masih banyak mahasiswa yang melakukan rekategorisasi UKT disetiap tahunnya, akibat adanya ketidaksesuaian kemampuan ekonomi mahasiswa dengan UKT yang diberikan.
Oleh karena itu, rancunya penerapan sistem UK/BKT di kampus yang masih jauh dari kata optimal, membuat kita menjadi tidak yakin bahwa betul adanya peran pemerintah dalam meringankan biaya kuliah mahasiswa sebagai tugas publik yang wajib dilakukan, dan memastikan hak semua masyarakat dapat mengakses pendidikan yang notabenenya merupakan Hak Asasi manusia (HAM).
Penulis: Nurul Annisa
(Mahasiswa akuntansi semester empat)