Menuju transisi bulan Oktober 2021, saya kembali merasakan peristiwa yang meresahkan sebagai perempuan. Bukan peristiwa yang baru dan pertama kali terjadi, namun telah berlangsung sejak lama dan beberapa kali ditemukan. Pembiaran akan peristiwa tersebut, lambat laun akan menimbulkan keresahan, sehingga berujung pada ketidaknyamanan yang berkepanjangan.
Waktu itu, saya menghadiri perkumpulan yang dilakukan oleh mahasiswa semester tiga ke atas. Dalam agenda tersebut bertujuan untuk membahas kegiatan besar. Di sela-sela pembahasan, seorang laki-laki tiba-tiba membahas tentang peran laki-laki dan gender.
Pendeknya “ Saya di sini sama sekali tidak punya niatan untuk melakukan diskriminasi gender. Tetapi kalian yang minoritas laki-laki memiliki peran untuk menjaga semua perempuan yang ada di sini.” sayangnya dia tidak memberikan penegasan bahwa peran untuk menjaga, kedua-duanya bisa dilakukan baik laki-laki maupun perempuan. Kesan yang terbangun hanya laki-laki yang memiliki peran untuk menjaga, dan dianggap sebagai kodratnya laki-laki. Imbasnya perempuan akan merasa bergantung terhadap laki-laki, dan terkonstruksi bahwa dirinya adalah makhluk yang lemah dan inferior. Sehingga menjadi keharusan bagi mereka untuk dijaga, diawasi dan dikontrol. Laki-laki sendiri akan menganggap dirinya superior serta berkuasa dalam menjaga perempuan.
Pada kalimat awal kelihatannya sangat ramah gender, sehingga tidak ada yang perlu dicemasi. Secara kebetulan dia juga merupakan salah satu kawan diskusi, dalam satu organisasi yang sangat sering membahas tentang gender dan keperempuanan. Tetapi, jika kita analisis kembali kalimat selanjutnya, ideologi atau pemahaman yang dikeluarkan ternyata bias gender. Pemahamannya tentang gender yang menghasilkan perbedaan gender (gender differences), justru menjadi sebab dari akibat timbulnya ketidakadilan gender ( gender inequalities ). Saya merasa kecewa dan terkejut, karena tidak menyangka ternyata yang saya anggap ramah dan sensitif gender selama ini justru berlaku sebaliknya. Mengapa hal demikian bisa terjadi?
Secara subjektif belum ada niat baik untuk memahami gender secara mendalam. Hanya memetik wacana dalam ruang diskusi, lalu disebar luaskan. Setelah itu tidak ada bentuk verifikasi melalui bacaan atau mencari referensi lainnya. Pola seperti ini hanya mengisahkan dogma, informasi yang diteruskan ke orang lain tanpa ada proses analisa kembali, akibatnya kesalahpahaman sering terjadi. Sepintas mereka paham akan konsep gender, namun dalam aktualisasinya mereka masih bias gender. Kesetaraan gender mereka gaungkan, namun dalam aktualisasinya masih syarat akan ketidakadilan gender (gender inequalities) . Hal demikian masih sering dijumpai, utamanya dalam lingkar belajar mahasiswa.
Lebih lanjut, pada saat yang sama juga terjadi pemilihan ketua panitia. Calon ketua yang diusung terdiri dari masing-masing dua laki-laki dan dua perempuan. Dalam proses pemilihannya, pemikiran yang bias gender juga dilontarkan oleh salah satu kandidat perempuan. “kalau masih ada laki-laki lebih baik dia saja yang jadi ketua, karena biasanya hanya laki-laki yang jadi ketua” maksudnya ketika tidak ada lagi laki-laki yang dapat jadi ketua, maka perempuan dapat ambil peran untuk memimpin. Jelas bahwa pemahaman seperti ini yang harus diluruskan, pemahaman yang mengutamakan laki-laki dan menempatkan perempuan pada posisi nomor dua. Padahal perempuan ataupun laki-laki sama-sama memiliki potensi untuk menjadi pemimpin. Bukan karena dia berjenis kelamin laki-laki maka harus diutamakan, dan perempuan ditempatkan pada posisi yang katanya identik dengan dirinya seperti bendahara, sekretaris dan lain-lain.
Dari kedua kasus tersebut, dapat dipahami bahwa baik laki-laki maupun perempuan sampai dewasa ini masih banyak yang bias gender. Gender masih dipahami sebagai sesuatu yang sifatnya kodrati (tidak dapat diubah). Kekeliruan akan konsep tersebut telah tersosialisasi dan terinternalisasi dengan baik dalam tatanan hidup masyarakat. Olehnya, dalam merespon dan menganalisis persoalan-persoalan ketidakadilan sosial yang menimpa perempuan, terlebih dahulu kita harus bisa membedakan antara konsep gender dan konsep sex (jenis kelamin). Keduanya memiliki kaitan yang erat dengan ketidakadilan yang saat ini dirasakan perempuan.
Berbicara tentang sex merujuk pada pembagian dua jenis kelamin secara biologis, yakni laki-laki dan perempuan. Misalnya laki-laki memiliki penis, jakala dan memproduksi sperma. Sedangkan, perempuan memiliki vagina, rahim, mempunyai alat untuk menyusui serta mampu memproduksi sel telur atau ovum. Alat-alat tersebut melekat pada laki-laki dan perempuan secara biologis. Sehingga tidak dapat dipertukarkan antara alat biologis yang dimiliki laki-laki dan perempuan. Lantas bagaimana dengan konsep gender?
Gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural (Mansour Fakih, 2016: 8). Perempuan secara umum dipandang sebagai perempuan yang lemah, iraisonal dan emosional, sementara laki-laki dianggap kuat, perkasa dan rasional. Sifat tersebut dapat dipertukarkan, misalnya ada laki-laki yang lemah lembut, emosional serta memiliki sifat keibuan. Begitupun sebaliknya, ada perempuan yang kuat, rasional dan perkasa. Artinya jika sex tadi kita pahami sebagai fakta biologis yang dimiliki perempuan dan laki-laki, sehingga sifatnya tidak dapat dipertukarkan (permanen), maka gender berlaku sebaliknya. Gender hanyalah sifat dan peran yang dilekatkan kepada perempuan dan laki-laki yang terbentuk melalui pemahaman masyarakat, sehingga dapat dipertukarkan.
Celakanya pemahaman gender dan sex sering tertukar. Misalnya pembagian kerja yang dibentuk masyarakat bahwa perempuan ruangnya di rana-rana domestik yakni di dapur, kasur, sumur serta mendidik anak juga menjadi tugas perempuan. Sedangkan, laki-laki tugasnya di rana-rana publik. pembagian kerja ini dianggap sebagai kodrat antara laki-laki dan perempuan, padahal pembagian kerja tersebut merupakan konstruksi sosial atau gender bukan kodrat dari Tuhan. Kemudian, perihal mendidik anak menjadi tanggung jawab bersama, tidak hanya dibebankan kepada perempuan. Jika mendidik anak merupakan tanggung jawab penuh bagi perempuan, maka perempuan juga yang akan disalahkan jika anak nantinya menjadi tidak bermoral dan membangkang terhadap orang tua.
Oleh sebab itu, saya berharap kepada pembaca yang budiman agar kiranya setelah membaca tulisan ini, bisa merekonstruksi dan meluruskan kembali nalar berpikirnya tentang gender dan sex. Kemudian, melakukan verifikasi kembali melalui buku, jurnal dan referensi lainnya, sehingga tidak hanya sampai pada ruang-ruang diskusi. Dua hal yang sangat penting untuk kita pahami bersama sehingga tidak menimbulkan ketimpangan-ketimpangan gender yang berakhir pada pengkerdilan perempuan.
Penulis : Dian Magfira