Pada tulisan ini saya ingin sedikit bercerita tentang keresahan yang ditimbulkan dari kuliah yang disebut “Daring” ini. Sebelumnya, kita ketahui bahwa diawal tahun 2020 dunia digegerkan dengan peristiwa yang tak pernah terduga sebelumnya dan begitu cepat hingga tak ada satupun negara yang memperkirakan kejadian ini. Yaitu telah lahir virus jenis baru yang sangat mematikan bernama COVID-19 yang menjadi biang kerok hingga tulisan ini terlahir. Virus ini mulai muncul disalah satu daerah di China dan menyebar sangat cepat hingga hampir seluruh dunia tak luput dari serangan virus ini, World Health Organization (WHO) pun telah menetapkan virus ini sebagai wabah pandemi.
Virus ini mulai menikmati cuaca Indonesia pada awal bulan Maret dan sebulan kemudian hampir diseluruh daerah Indonesia telah terjangkit virus tercinta ini. Pada akhirnya, awal dari permasalahan ini pun muncul. Dengan cepat pemerintah mengambil tindakan dengan mengeluarkan peraturan pemerintah yang membatasi seluruh aktivitas diluar rumah menjadi #DirumahAja. Hingga sekolah dan perguruan tinggi pun tak luput dari kebijakan tersebut, akhirnya seluruh kegiatan belajar mengajar dipindahkan dari kuliah tatap muka menjadi kuliah tutup muka (Daring). Awalnya saya sangat senang tapi setelah berjalan 1 minggu, para dosen dengan tak berprikemanusian berlomba-lomba memberikan tugas yang tak kunjung reda. Ini mengingatkanku pada saat masih berada dibangku Sekolah Menengah Atas (SMA) yang dimana pada saat itu saya mengikuti pelajaran penjaskes dengan lari estafet, ini persis dengan tugas yang diberikan oleh para dosen tercinta.
Dengan dialihkannya kuliah ini menjadi “Daring” menimbulkan begitu banyak permasalahan dan keresahan yang sangat krusial. Dimana pada saat itu kita baru saja melakukan pembayaran UKT/SPP yang menurut saya selaku anak petani dengan uang pas-pasan, sangat membutuhkan waktu beberapa bulan untuk mengumpulkannya, juga biaya kos-kosan yang tidak murah. Permasalahan ini sangat mengganggu pikiran saya dan menimbulkan pertanyaan, kemana uang UKT/SPP yang telah saya bayarkan? dan untuk siapa?
Sampai saat ini belum ada kejelasan ataupun kebijakan dari pihak kampus mengenai hal ini, baik itu berupa subsidi kuota atau pengemabalian uang UKT/SPP. Seandainya terjadi pengembalian UKT/SPP, maka mungkin sangat membantu bagi para mahasisiwa dalam bertahan melawan virus ini. Kita juga mengetahui bahwa kebanyakan dari mahasiswa itu bukan dari kalangan keluarga yang tergolong mampu dan tidak dipungkiri juga ada kemungkinan kepala keluarga yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akibat COVID-19 ini dan kemungkinan hanya itulah penghasilan satu-satunya yang mereka peroleh.
Baru-baru ini juga telah beredar luas sebuah surat yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama (Kemenag RI) yang menyatakan bahwa adanya pemotongan pembayaran UKT/SPP minimal 10%. Walaupun dianggap tidak sebanding tapi setidaknya mampu mengurangi sedikit keresahan yang tengah dirasakan oleh kebanyakan mahasiswa. Namun Belum sempat terealisasi, Kemenag RI mencabut kembali surat edaran tersebut. Saya tidak tahu apa yang merasukinya sehingga dia sangat mahir mempermainkan hati para mahasiswa. Ataukah mungkin dia terinspirasi dari seorang youtuber yang biasa melakukan PRANK? Ini bukan waktu yang tepat untuk melakukan hal-hal seperti itu. Kita dapat menyimpulkan bahwa keprihatinan Kemenag RI perlu dipertanyakan di tengah pandemi ini. Ataukah mungkin kita dikategorikan sebagai pendapatan non pajak, dikarenakan pendapatan pajak pemerintah tengah mengalami penurunan drastis sehingga kita dianggap sebagai pendapatan non- pajak berpotensial?
Tiba pada kejadian tak mengenakkan yang telah saya alami baru-baru ini, ketika pada saat itu ada mata kuliah yang bertepatan dengan habisnya paket kuota yang saya miliki hingga pada akhirnya saya dianggap tidak mengikuti mata perkuliahan tersebut. Jika UKT/SPP diperuntukkan untuk fasilitas kampus maka kuota internet dapat menjadi salah satu peruntukkannya. Betul jika seandainya dikatakan bahwa untuk mendapatkan nilai semester yang baik pada situasi ini, tergantung dari seberapa banyak kuota yang kalian miliki dan seberapa banyak biaya kuliah yang kalian miliki untuk membeli kuota internet. Buat apa kalian punya wawasan luas jika jaringan dan kuota tidak mendukung? percuma saja karena patokan nilai itu terletak pada kualitas dan kuantitas kuota internet dan bukan pada wawasan kalian. Harga kuota internet di daerah pun bisa dikatakan sangat mahal bahkan tiga kali lipat dari harga normal di kota. Disini peran pihak kampus sangat dibutuhkan untuk menyelesaikan permasalahan dan bukan malah melimpahkan segala sesuatunya kepada para mahasiswa.
Di situasi yang seperti ini juga sangat diharapkan kepada pihak kampus untuk mampu bertindak cepat dalam menyelesaikan permasalahan yang muncul akibat kuliah daring ini.
Penulis : M.Agung Ishal
Editor : Andi Tenriawaru A.Kahrir