Entah, saya harus memulai dari mana tulisan ini. Covid-19? Hmm…, siapa dia? orang mana dia? itulah beberapa gambaran pertanyaan umum para orang tua di kampung.
Abang covid-19 ini terlahir di salah satu daerah yang bernama Wuhan. Awal lahirnya abang covid diakhir tahun 2019 disambut dengan suka cita oleh masyarakat pada saat itu, bahkan menjadi sebuah trending topik seluruh dunia, tak terkecuali negara yang dijuluki negara +62.
World Health Organization (WHO), sebagai organisasi kesehatan dunia pun bersepakat memberikan julukan abang covid sebagai “COVID-19” dan menjadi sebuah wabah hampir separuh bumi. Wahhh sungguh beruntung, mungkin bentar lagi mau dibuatkan sebuah monumen nih.
Pada awal bulan Maret covid-19 sudah menyentuh negara Indonesia dan menyebar begitu sangat pesat. Pemerintah dengan sigap memberikan himbauan agar seluruh masyarakat Indonesia jangan panik, dan segala aktivitas di luar rumah itu ditiadakan. Dengan adanya himbauan ini, secara tidak langsung banyak orang mengumandangkan dan mengucapkan mantra “di rumah aja”, yang tak lain hanya untuk memutuskan tali rantai penyeberan corona virus ini.
Kaum rebahan yang dicap sebagai label pemalas, pengangguran atau sampah masyarakat, kini secara tidak langsung hadir sebagai pahlawan di tengah pendemi ini. Ibarat sebuah strategi yang sering dimainkan Jose Mourinho, para tenaga medis adalah para striker yang siap meyerang dan membantu para korban yang teridentifikasi positif corona, dan kaum rebahan sebagai gelandang bertahan yang siap membantu memutuskan serangan virus ini. Saya salah satu dari kaum tersebut, dan mewakili kaum rebahan lainnya, berbangga diri karena telah berkontribusi memutuskan rantai pandemi ini. “tidurmu ataupun magermu adalah salah satu bentuk perlawanan”.
Ajakan di rumah aja, social distancing atau jaga jarak itu menjadi salah satu langkah yang diambil oleh pemerintah. Terbukti dengan adanya pemberlakuan PSBB (pembatasan sosial berskala besar). Mulanya PSBB ini hanya diterapkan di Ibu kota dan akhirnya diterapkan juga di beberapa kota yang ada di Indonesia. Akibatnya kegiatan sosial dan ekonomi di beberapa kota menjadi lumpuh. Mesin-mesin pabrik yang dulunya beroperasi kini berhenti, tempat-tempat peribadatan ditutup, proses belajar-mengajar terganggu, seraya mantra ajakan “di rumah aja” adalah sebuah magnet besar yang bisa menarik semua individu, kalangan, ras dan golongan untuk tetap stay di rumah aja.
Berhentinya mesin-mesin pabrik untuk beroperasi berakibat pada kelas buruh yang terkena pemutusan hak kerja (PHK). Hmm…, apakah mantra yang sering diucapkan, dilantunkan atau digemahkan oleh banyak orang untuk tetap di rumah masih menjadi solusi bagi mereka yang baru kena PHK? Ataukah ajakan tetap di rumah hanya berlaku bagi mereka yang memiliki tingkat perekonomian menengah saja? Sebenarnya masih banyak lagi korban dari pandemi ini seperti pekerja serabutan, ojol, buruh panggul pelabuhan, yang dimana mereka semua adalah para pekerja informal, yang notabenenya mereka dituntut, dan dipaksa oleh keadaan, yang bilamana ketika ia tidak bekerja siapa menjamin keberlangsungan hidup mereka dan keluarganya. Hahaha… bukannya mati karena pandemi, malah mati menahan kelaparan.
Hari ini para orang tua harus berpikir secara ekstra dan memutar otaknya 180 derajat hanya untuk memikirkan agar supaya nasi tetap berada diatas tempatnya. Saya teringat beberapa hari yang lalu lewat disebuah jalan dan melihat beberapa orang berkerumun di bahu jalan. Saya pikir bakal ada sebuah konser, dan tak taunya mereka sedang antri dan menunggu disebutkan namanya satu persatu, serta membawa beberapa barang digenggaman tangan. Sebenarnya saya tidak mau menyebutkan nama tempat tersebut, tapi sebut saja PEGADAIAN (instansi naungan BUMN).
Pegadaian dengan jargonnya ” Mengatasi Masalah Tanpa Masalah” menjadi sebuah langkah kongkrit yang diambil oleh para orang tua, yang sebagian besar adalah korban dari PHK di tempat kerjanya. Saya sebagai seorang mahasiswa yang memiliki background ekonomi yang dibesarkan oleh keluarga petani, sebuah negara yang mengutamakan para investor, dan lingkungan yang cukup memadai untuk merintis sebuah usaha. Awalnya saya ragu dengan usaha yang akan nantinya saya rintis ini, yang tak lain membuat sebuah usaha peternakan anak-anak dari abang covid, yaitu corona. Tapi melihat dengan keberhasilan yang dicapai abang covid, dengan menyandang sebuah gelar COVID-19 dari WHO, menguasai separuh dunia, dan dengan mengandalkan modal yang murah “Ketakutan dan Kelaparan”.
Pengurangan atau pembatasan aktivitas sosial boleh saja, selama masih memiliki maksud dan tujuan yang bermanfaat bagi khalayak banyak, serta tidak mengesampingkan dan memutuskan rantai kemanusiaan. Di bulan yang suci dan nan berkah ini, dijadikan sebagai wadah ataupun sebuah momentum oleh beberapa orang yang memiliki sedikit harta yang lebih sebagai ajang kemanusiaan di tengah pandemi ini. Hmm…, semoga saja kebaikan Anda saat ini tak seperti para wakil rakyat yang hanya datang saat pesta demokrasi. Hehe, jangan tersinggung ya pak, kan fakta.
Penulis : Sahrul Ramadan
Editor : A. Nadiyah Khaerani